LIBERAL GEMBONG RASIS DAN FASIS
Liberal dan Nation Building
Konsep Bangunan Kebangsaan yang diusung Kaum Liberal
Internasional untuk membangun Negara Kebangsaan adalah konsep rasis dan
fasis yang sangat berbahaya. Rasis karena konsep ini mempertahankan
perbedaan ras, suku dan bangsa dalam membangun negara. Fasis karena
mendorong suatu ras atau suku bangsa memusuhi ras atau suku bangsa yang
lain, sehingga menjadi ciri pemerintahan kebangsaan di seluruh dunia
untuk bersikap otoriter terhadap golongan yang dianggap bukan asli
bangsanya atau yang dinilai mengancam keutuhan golongan bangsanya.
Lihat
saja, bagaimana Indian penduduk asli Amerika dikucilkan oleh “Negara
Kebangsaan Amerika” karena dianggap tidak berbangsa Amerika. Dan lihat
juga, bagaimana penduduk Aborigin di Australia dijadikan warga kelas dua
oleh “Negara Kebangsaan Australia” karena dianggap kurang berbangsa
Australia. Nah, kalau penduduk asli saja disingkirkan oleh Konsep Negara
Kebangsaan, apalagi warga pendatang. Lihat saja perlakuan “Negara
Kebangsaan Perancis” yang mendiskriminasikan warga imigran secara
terang-terangan.
Demokrasi adalah nama alat politik kaum
Liberal untuk memasarkan konsep negara kebangsaan yang rasis dan fasis.
Kapitalisme adalah nama alat ekonomi kaum Liberal untuk memperkokoh
kedudukan suatu ras atau golongan di tengah ras atau golongan lainnya.
Sosialisme adalah adalah nama alat ekonomi lain kaum Liberal untuk
mengimbangi Kapitalisme yang dikendalikan oleh kaum Liberal lainnya yang
menjadi rival dan saingannya sesama Liberal.
Jadi, Nation
Building berbeda dengan sistem Islam yang lintas ras, suku dan bangsa.
Dalam sistem Islam semua sekat rasis dan fasis dihapuskan. Karenanya,
kaum Liberal sangat membenci sistem Islam yang dianggap menjadi
penghalang bagi nafsu rasisme dan fasisme mereka. Itulah sebabnya, saya
sebut Liberal sebagai Gembong Rasis dan Fasis.
Karenanya,
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang selama ini sudah
terbangun dengan Bhinneka Tunggal Ika-nya, harus mewaspadai kampanye
“Nation Building” yang diusung kaum Liberal. Jangan terrtipu, luarnya
tampak bagus karena dikemas dengan apik sekaligus licik, tapi isinya
sangat membahayakan dan mengancam keutuhan NKRI, karena ke depan setiap
ras dan suku bangsa di Nusantara dengan dalih HAM dan kebebasan akan
didorong untuk membangun negara tersendiri atas dasar ras dan suku
bangsanya sendiri-sendiri.
KEBENCIAN LIBERAL KEPADA ISLAM DAN ARAB
Selama
ini kaum Liberal pandai bersandiwara, seolah mereka adalah pejuang anti
Rasisme dan Fasisme. Mereka di berbagai kesempatan seolah menyuarakan
keadilan dan persamaan antar sesama umat manusia, tanpa memandang latar
belakang kesukuan mau pun kebangsaannya. Namun jika kita perhatikan
produk pemikiran mereka, maka akan kita dapatkan kebusukan hati dan
kekotoran jiwa mereka terhadap Islam secara umum, dan khususnya terhadap
Arab.
Kebencian Liberal terhadap Islam dan Arab tak bisa
disembunyikan. Di Indonesia misalnya, ketika sedang digodok RUU
Pornografi, seorang jurnalis Liberal kawakan dari sebuah majalah
nasional menyebutnya sebagai proses “Arabisasi”. Dan ketika kaum Liberal
menolak perda-perda Syariat, mereka mengatakan “Ini bukan negara Arab”.
Lalu ketika propagandis Liberal menentang kewajiban Jilbab bagi wanita
muslimah, mereka pun lantang menyatakan “Jilbab itu adat Arab”. Kemudian
saat seorang aktivis Liberal mendapat undangan kunjungan ke Israel
dengan aneka fasilitas, maka sepulangnya dari Israel serta merta membuat
tulisan yang memuji-muji Israel dan mencaci-maki Arab. Dan baru-baru
ini seorang anggota DPR RI yang pernah meloloskan seorang nashrani teman
separtainya ke Mekkah dan Madinah secara licik, dalam suatu dialog
televisi tentang Ahmadiyah memelesetkan kata “Sajadah” dengan kata
“Haram Jadah”. Jauh sebelumnya, seorang aktivis Liberal lainnya dalam
suatu wawancara televisi menyatakan bahwa soal Ahmadiyah hanya merupakan
persaingan antara “Nabi India” dan “Nabi Arab”.
Kehadiran
sejumlah Ormas Islam pasca Reformasi yang dibidani sejumlah Aktivis
Islam kelahiran Indonesia keturunan Arab, seperti Majelis Mujahidin
Indonesia (MMI) oleh Abu Bakar Ba’asyir, Laskar Jihad oleh Ja’far Umar
Thalib, Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI) oleh Husein Habsyi dan Front
Pembela Islam (FPI) oleh Rizieq Syihab dan kawan-kawan, makin menambah
kebencian Kaum Liberal terhadap Arab. Apalagi ketika ormas-ormas Islam
tersebut diterima secara luas oleh berbagai kalangan umat Islam tanpa
peduli ras, suku dan golongan, karena telah secara eksis melaksanakan
Da’wah, menegakkan Hisbah dan menggelorakan Jihad, maka kaum Liberal
makin panas hatinya dan mendidih kepalanya. Akhirnya, secara rasis dan
fasis kaum Liberal pun memunculkan istilah “Islam Indonesia” dan “Islam
Arab”.
Ditambah lagi ketika terjadi sejumlah kasus
kezaliman orang Arab terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI) baik pria mau
pun wanita di Timur Tengah, maka para Liberal yang rasis dan fasis
tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut untuk mendiskreditkan Arab,
sekaligus memojokkan Islam. Krisis politik di Timur Tengah dengan aneka
kekacauannya semakin menambah semangat para propagandis Liberal
menyifatkan Arab sebagai perusuh dan pengacau, serta barbar tak tahu
aturan.
LIBERAL DAN STUDI ISLAM
Dalam kajian
Al-Qur’an, kaum Liberal menyatakan bahwa penulisan Al-Qur’an dalam
bahasa Arab dan dalam lahjah Quraisy merupakan “perangkap” untuk
memperbudak manusia kepada bangsa Arab, khususnya kepada suku Quraisy.
Kaum Liberal kesal dan kecewa terhadap Al-Qur’an yang berbahasa Arab.
Hasutnya kaum Liberal terhadap Arab makin kentara ketika mereka
mengklaim bahwa untuk memahami dan menafsirkan Al-Qur’an “tidak perlu
bahasa Arab”. Itu pula yang mendorong mereka membela habis-habisan
Yusman Roy yang mengajarkan Shalat dengan bahasa Indonesia, tanpa perlu
bahasa Arab.
Dalam kajian Fiqih, kaum Liberal menyoroti
bahwa syarat Quraisy sebagai khalifah adalah untuk memperkokoh “Hegemoni
Arab”. Soal “Kafa-ah” dalam pernikahan adalah bentuk lain dari “Kasta
Arab”. Soal Haji, Umrah dan Ziarah harus ke Tanah Arab (Mekkah dan
Madinah) merupakan perangkap fiqih untuk mengikat umat Islam dengan
Arab.
Dalam kajian Sejarah Islam Dunia, kaum Liberal punya
tesis sendiri. Mereka menyatakan bahwa sebab diutusnya Muhammad di
tengah bangsa Arab, karena bangsa Arab bangsa biadab, dan sebab sukunya
Muhammad dari Quraisy karena Quraisy paling biadabnya bangsa Arab, serta
sebab dilahirkannya Muhammad di Mekkah karena itulah tempat dan sarang
bangsa paling biadab di dunia. Ironisnya, dalam kurikulum pendidikan
Indonesia tesis itulah yang ditampilkan dalam materi Sejarah Islam
Dunia. Kaum Liberal pun memakai dalil yang diambil dari QS.9.At-Taubah :
97 yang menyatakan bahwa bangsa Arab paling keras kufur dan nifaqnya.
Sedang
dalam kajian Sejarah Islam Indonesia, kaum Liberal berupaya
menyingkirkan peran bangsa Arab, bahkan sebisanya dihapuskan dari
catatan sejarah. Kaum Liberal memunculkan tesis bahwa yang membawa Islam
ke Indonesia adalah orang-orang Gujarat dari India, bukan Arab,
sehingga ke-Arab-an Walisongo sang penyebar Islam di Tanah Jawa mereka
sembunyikan dengan berbagai macam cara. Bahkan belakangan ini kaum
Liberal mulai mengajukan tesis baru bahwa yang membawa Islam ke
Indonesia adalah Cina bukan Arab.
Termasuk peran perguruan
Jamiat Kheir sebagai perintis pendidikan di Indonesia pun diabaikan,
karena disana berkumpul para Tokoh Habaib dan Masyaikh yang merupakan
keturunan Arab. Ironisnya, lagi-lagi dalam kurikulum pendidikan
Indonesia tesis macam inilah yang ditampilkan. Seorang mantan rektor
perguruan tinggi Islam dalam sebuah tulisannya menyindir bahwa orang
Hadromaut – Yaman datang ke Indonesia hanya dimotivasi keinginan untuk
cari duit, bukan da’wah, apalagi menyebarkan Islam. Bahkan kaum Liberal
menggambarkan bahwa keberadaan Kesultanan-Kesultanan Islam yang dipimpin
oleh para Sultan keturunan Arab di Nusantara seperti Kesultanan Pasei,
Siak, Kubu, Pontianak, dan sebagainya, merupakan bagian dari penjajahan
Arab terhadap bangsa Indonesia.ARAB LIBERAL
Di kalangan Liberal muncul sejumlah
tokoh dari bangsa Arab seperti Rifa’ah Thahthawi, Qasim Amin, Ali Abdur
Raziq, Faruq Faudah, Hassan Hanafi, Abid Jabiri, Nawal Sa’dawi, Nasher
Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, Muhammad Arkoun, dan lain sebagainya.
Keberadaan Tokoh Arab Liberal dalam barisan Kaum Liberal merupakan
fenomena yang mesti diwaspadai. Kaum Liberal memanfaatkan keberadaan
mereka sekurangnya untuk tiga hal :
Pertama, untuk
menyembunyikan sekaligus menafikan sikap rasis dan fasis mereka terhadap
bangsa Arab. Kedua, untuk menipu dan mengelabui mayoritas umat Islam
yang masih menaruh hormat dan memberi cinta kepada Ulama Arab. Ketiga,
untuk memanfaatkan ke-Arab-an mereka dalam memojokkan aktivis Islam baik
dari kalangan Arab mau pun non Arab.
Di Indonesia pun,
tidak sedikit kalangan Arab Liberal. Ada yang menjadi pejabat, dosen,
aktivis, wartawan, pengusaha, dan lain sebagainya. Kasihan, mereka Arab
yang dimanfaatkan untuk menghantam Arab. Bahkan tidak jarang para Arab
Liberal tersebut dijadikan bemper untuk memimpin sejumlah instansi atau
lembaga Liberal di Indonesia. Namun tentu saja, Arab Islam jauh lebih
banyak dan lebih berkualitas dibandingkan dengan Arab Liberal, baik
dalam kancah nasional mau pun internasional.
ISLAM ANTI RASIS DAN FASIS
Dalam
QS.49. Al-Hujuraat : 10, Allah SWT menegaskan “Innamal Mu’minuuna
Ikhwah” artinya bahwa sesungguhnya orang beriman adalah bersaudara, ini
adalah ayat “Ukhuwwah Imaniyyah”. Dan Rasulullah SAW menegaskan :
“Al-Muslim Akhul Muslim” artinya orang Islam saudara orang Islam, ini
adalah hadits “Ukhuwwah Islamiyyah”. Dengan kedua dalil tersebut menjadi
jelas bahwasanya Persaudaraan Islam diikat dengan iman. Persaudaraan
Islam lintas sektoral mau pun teritorial, dan lintas bangsa mau pun
negara. Dengan iman, umat Islam bersaudara, apa pun warna kulit, suku,
ras dan bangsanya, bagaimana pun bahasa dan adat istiadatnya, di mana
pun lahir dan tinggalnya, serta tanpa peduli status pendidikan, politik,
ekonomi dan sosialnya.
Dalam QS.49.Al-Hujuraat : 11,
Allah SWT melarang keras orang beriman merendahkan harkat dan martabat
suatu kaum, terjemah firman-Nya : “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain, (karena) boleh
jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olokkan). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan)
wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diolok-olokkan) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olokkan).
Dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruknya panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman,
dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” Inilah ayat “Anti Rasis dan Fasis”.
Dalam
QS.49.Al-Hujuraat : 13, Allah SWT menegaskan tentang keragaman dan
kemajemukan jenis dan suku bangsa manusia, terjemah firman-Nya : “Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari jenis laki-laki
dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu.” Inilah ayat “Pluralitas” sekaligus ayat “Tolok Ukur
Kemuliaan”. Jadi, tolok ukur kemuliaan seseorang di sisi Allah SWT bukan
jenis kelaminnya atau pun suku bangsanya, melainkan ketaqwaannya kepada
Allah SWT.
Akal sehat tidak memungkiri, bahwa dalam
kehidupan dunia sebahagian manusia memiliki kelebihan di atas sebahagian
yang lain. Si kyai melebihi si santri, si pejabat melebihi si rakyat,
si ningrat melebihi si melarat, si sehat melebihi si cacat, si pandai
melebihi si pandir, si kaya melebihi si miskin, dan seterusnya. Namun
kelebihan itu semua tak berarti dan tak manfaat di akhirat jika tak
diikat dengan taqwa. Karenanya, kelebihan tersebut tidak boleh
menjadikan seseorang sombong dan takabbur, apalagi bersikap rasis dan
fasis. Sungguh alangkah indahnya orang-orang yang dikaruniakan kelebihan
duniawiyah oleh Allah SWT lalu diikat kuat dengan taqwa, maka ia
beruntung dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam QS.17.Al-Israa’ :
21 yang terjemahnya : “Lihatlah bagaimana kami melebihkan sebahagian
mereka di atas sebahagian yang lain, dan sesungguhnya akhirat itu lebih
besar derajat dan kelebihannya”.
KAFA’AH BUKAN KASTA
Adanya
syarat Kafa’ah dalam pernikahan, dimana calon suami seyogyanya tidak
lebih rendah dari calon isteri dalam sejumlah katagori, bukanlah sistem
“Kastaisme” sebagaimana difitnahkan kaum Liberal. Masalah kafa’ah adalah
masalah khilafiyah fiqhiyah di antara Madzhab Islam. Semua Madzhab
Islam sepakat bahwa kafa’ah dalam masalah “agama” adalah “syarat sah”
untuk suatu pernikahan, sehingga jika calon suami yang agamanya lebih
rendah (-baca berbeda-) dengan si calon isteri muslimah, maka tidak sah
perkawinannya. Sedang masalah agama terkait “akhlaq”, semua madzhab
sepakat sebagai “syarat lazim” yang menjamin kesempurnaan pernikahan,
sehingga jika calon suami muslim akhlaqnya lebih rendah dari si calon
isteri muslimah, maka pernikahannya tidak lazim alias kurang sempurna.
Sedang
masalah kafa’ah dalam soal selain agama / akhlaq, maka para Ulama dari
berbagai Madzhab berbeda pendapat. Maliki dan Ja’fari berpendapat bahwa
syarat kafa’ah hanya dalam soal agama / akhlaq saja. Ada pun Hanafi,
Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa selain agama / akhlaq, maka syarat
kafa’ah berlaku juga dalam soal nasab dan profesi serta keterampilan /
keahlian. Bahkan ada pendapat yang memasukkan sejumlah katagori lain
sebagai bagian dari masalah kafa’ah, antara lain : harta, umur dan sehat
dari cacat. Itu pun, Jumhur Ulama dari berbagai Madzhab Islam
berpendapat bahwa masalah kafa’ah dalam katagori yang mereka
perselisihkan tersebut bukan “syarat sah” tapi hanya merupakan “syarat
lazim”. Sehingga pernikahan “tidak sekufu” dalam aneka katagori tersebut
tetap sah selama ada saling ridho antara si calon pengantin wanita
muslimah dengan seluruh para wali nikahnya, karena kafa’ah menjadi hak
bersama di antara mereka. Namun ada satu fatwa dalam Madzhab Hanbali
yang menyatakan bahwa kafa’ah dalam aneka katagori dimaksud adalah
“syarat sah”, pendapat ini banyak diikuti kalangan tertentu di pelbagai
negeri Islam. Ini soal khilafiyah fiqhiyah yang harus disikapi dengan
jiwa besar dan toleran serta sikap saling menghormati dan menghargai.
Terlepas
dari perbedaan pendapat antara Madzhab Islam soal kafa’ah, maka itu
harus dipahami sebagai khilafiyah fiqhiyah biasa, bukan masalah
“pengkastaan” sebagaimana fitnah Kaum Liberal. Masalah kafa’ah
dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan perkawinan yaitu sakinah penuh
mawaddah dan rahmah. Manakala seorang isteri tidak lebih tinggi dari
suaminya dalam soal kafa’ah tersebut, maka upaya menciptakan harmonisasi
rumah tangga akan lebih mudah. Sebaliknya, manakala si isteri lebih
tinggi dari suami dalam soal kafa’ah, maka dikhawatirkan si isteri suatu
ketika akan merendahkan suaminya atau si suami akan menjadi minder
dengan kekurangannya, sehingga “Ar-Rijaal Qowwaamuuna ‘alan Nisaa-i”
dalam rumah tangga menjadi tidak terealisasi. Tentu kondisi semacam itu
akan menjadi penghambat mewujudkan rumah tangga yang sakinah penuh
mawaddah dan rahmah. Itulah sebabnya, kafa’ah menjadi “syarat lazim”
yang si calon pengantin wanita muslimah dan para walinya berserikat
dalam penerimaan atau penolakannya terhadap nikah tidak sekufu’,
sehingga tidak menjadi penyesalan atau problem di kemudian hari. Itu
saja, tidak ada kaitannya dengan soal pengkastaan, karena Kafa’ah memang
bukan Kasta. Jadi, kafa’ah bukan rasis dan fasis.
KENAPA RASULULLAH SAW LAHIR DI ARAB ?
Kaum
Orientalis sejak lama melemparkan tesis tentang “Arab Biadab”. Dalam
kajian Sejarah Islam, mereka menyatakan bahwa sebab diutusnya Muhammad
di tengah bangsa Arab, karena bangsa Arab bangsa “biadab”, dan sebab
sukunya Muhammad dari Quraisy karena Quraisy paling “biadab” nya bangsa
Arab, serta sebab dilahirkannya Muhammad di Mekkah karena itulah tempat
dan sarang bangsa paling “biadab” di dunia.
Di Indonesia
yang pertama kali menyebar-luaskan tesis tersebut di tengah masyarakat
adalah Snouck Hugronye. Propaganda Snouck cukup berhasil dan sangat
digandrungi oleh kaum Liberal Indonesia, bahkan hingga kini dalam
kurikulum pendidikan sejarah Islam di Indonesia masih termuat tesis
tersebut. Tesis ini sangat rasis dan fasis sekaligus sesat dan
menyesatkan.
Tesis yang menyatakan bahwa sebab diutusnya
Rasulullah SAW di dunia karena seluruh dunia dalam kejahiliyahan yang
penuh kemusyrikan, kezaliman dan kebiadaban, adalah tesis yang tepat dan
tak bisa dipungkiri. Namun tesis yang menyatakan sebab diutusnya
Rasulullah SAW di tengah bangsa Arab karena Arab merupakan bangsa yang
paling biadab di dunia, merupakan tesis yang sama sekali tidak berharga,
karena tidak ilmiah dan tidak didukung fakta dan data yang akurat.
Tesis “Arab Biadab” adalah tesis yang hanya didasarkan kepada bibit
rasis dan fasis para musuh Islam.
Sebelum Rasulullah SAW
diutus sebagai Nabi dan Rasul, di Arab ada kebiadaban Wa-dul Banaat
yaitu mengubur hidup-hidup anak perempuan. Di tengah bangsa Israil ada
kebiadaban membunuh para Nabi dan Rasul. Di Persia ada kebiadaban
tradisi Mazdakiyah yang menghalalkan seorang ayah mengawini putri
kandungnya sendiri. Di Eropa ada kebiadaban adu tarung manusia
(Gladiator) yang terkadang diadu dengan binatang buas untuk tontonan
masyarakat, bahkan di waktu tertentu kaum Bangsawan berburu “manusia”
sebagai hiburan dengan melepas budak lalu dijadikan sasaran tembak anak
panah dan tombak antar para pelomba berburu. Di China ada tradisi
pengebirian kaum pria untuk dijadikan “kasim” dalam istana Raja mau pun
kaum bangsawan lainnya. Di pedalaman Afrika ada kebiadaban Kanibalisme
yang orang masih makan orang. Di India dan Indonesia pun ada kebiadaban
yang tidak kalah dengan negeri lainnya. Benarkah dari semua kebiadaban
itu Arab adalah yang “paling biadab” sebagaimana tesis orientalis yang
digandrungi kaum Liberal ? Apa tolok ukur dan parameternya ? Apa pula
dasar berfikir dan metode penyimpulannya ? Semua tidak jelas, kecuali
sikap rasis dan fasis terhadap bangsa Arab, tidak lebih !
Arab
memang biadab dengan kemusyrikan dan kezalimannya, tapi seluruh dunia
juga sama biadabnya dalam kemusyrikan dan kezaliman. Ada pun
QS.9.At-Taubah : 97 yang dijadikan dalil oleh kaum Liberal bahwa bangsa
Arab paling keras kufur dan nifaqnya, merupakan korupsi dalil dan
manipulasi hujjah. Dalam ayat tersebut termaktub kata “Al-A’raab” bukan
“Al-’Arab”, sehingga yang dimaksud adalah sekelompok orang Arab
pedusunan bukan bangsa Arab keseluruhan. Lagi pula pada lanjutan ayat
yaitu di ayat ke-99 disebut tentang “Al-A’raab” yang beriman kepada
Allah SWT. Jadi, argumentasi Liberal gugur melalui rangkaian ayat-ayat
itu sendiri, inilah salah satu bukti kebodohan kaum Liberal dalam
memahami Al-Qur’an.
Prof. DR. Muhammad Sa’id Ramadhan
Al-Buthi dalam kitabnya “Fiqhus Siirah” menelanjangi kebobrokan tesis
orientalis tersebut. Beliau secara cerdas dan brillian menjawab dengan
tuntas persoalan tersebut. Secara ringkas jawaban tentang kenapa
Rasulullah SAW diutus di tengah bangsa Arab, antara lain :
Pertama,
dalam QS.3. Aali-’Imraan : 96 ditegaskan bahwa Ka’bah di Mekkah
merupakan rumah Allah SWT pertama yang ada di atas muka bumi. Dalam
riwayat disebutkan bahwa Ka’bah dibangun pertama kali oleh Syits putra
Nabi Adam AS, lalu lenyap saat terjadi banjir besar di zaman Nabi Nuh
AS, dan dibangun kembali di zaman Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS,
dan disempurnakan di zaman Nabi Muhammad SAW. Artinya, jauh sebelum Nabi
Terakhir dilahirkan di Mekkah, kota tersebut sudah disiapkan untuk
menerima kehadirannya. Ka’bah sebagai pusat Dunia dan yang akan menjadi
Qiblat kaum muslimin sudah disiapkan di Mekkah jauh sebelum kedatangan
Sang Nabi Terakhir. Jadi, ada mau pun tidak ada kebiadaban bangsa Arab
di Mekkah, maka Nabi Muhammad SAW tetap akan lahir di kota tersebut,
sehingga kebiadaban bangsa Arab bukan alasan diutusnya Nabi Terakhir di
tengah bangsa Arab.
Kedua, Allah SWT memerintahkan Nabi
Ibrahim AS untuk meninggalkan putranya Ismail AS dan ibunya Siti Hajar
AS di Mekkah yang saat itu hanya merupakan tanah gersang dan tandus
tanpa penduduk dan tidak ada sumber air mau pun perkebunan. Kenapa
Ismail bukan Ishaq ? Dan kenapa di Mekkah bukan tempat lainnya ? Sebab
Nabi Terakhir akan lahir dari keturunan Ismail bukan Ishaq, dan karena
di Mekkah lah tempat asal mula berdirinya Ka’bah yang kelak mesti
dibangun kembali oleh Ibrahim dan Ismail, yang nantinya akan menjadi
Qiblat kaum muslimin. Jadi, keberadaan Ismail di Mekkah memang telah
disiapkan untuk menjadi bagian dari proses kedatangan Nabi Terakhir,
sehingga tidak ada kaitan dengan kebiadaban bangsa Arab.
Ketiga,
saat kelahiran Rasulullah SAW di Mekkah, ada dua imperium besar yang
memimpin dunia, Kaisar Romawi di sebelah barat, dan Kisra Persia di
sebelah timur. Ketika itu tak ada satu pun wilayah Timur Tengah yang
luput dari cengkeraman kekuasaan kedua imperium raksasa tersebut,
kecuali Mekkah dan sekitarnya. Dalam kedua sistem pemerintahan
kekaisaran tersebut ada gejolak politik, perang filsafat, pertikaian
agama dan nafsu imperialisme. Sedang Mekkah merupakan wilayah yang polos
dan lugu, tiada sistem pemerintahan, tiada politik mau pun filsafat,
tiada nafsu imperialisme, tiada pertikaian agama, yang ada hanya sistem
kekeluargaan qabilah. Mekkah terbebas dari gejolak politik mau pun
filsafat yang terjadi di kedua imperium tersebut. Karenanya, jika Nabi
Terakhir diutus di Romawi atau Persia, maka akan ada tuduhan bahwa Islam
yang dibawa Muhammad lahir dari gejolak politik dan perang filsafat
serta pertikaian agama, atau sebagai anak angkat dari nafsu
imperialisme. Namun dengan diutusnya Rasulullah SAW di Mekkah, maka
tuduhan semacam itu menjadi tak berdasar. Ini bukan terjadi kebetulan,
namun memang Mekkah sudah disiapkan dalam program ilahi sebagai tempat
lahirnya nubuwwah akhir zaman. Jadi, lagi-lagi bukan kebiadaban bangsa
Arab yang menjadi alasan.
Keempat, Arab memang biadab
dengan tradisi Wa’dul Banaat-nya, namun tidak semua bangsa Arab
melakukan tradisi tersebut. Buktinya yaitu keberadaan Rasulullah SAW dan
para Shahabat serta semua masyarakat Arab di zaman itu. Bukankah mereka
semua dilahirkan oleh wanita ?! Bukankah para wanita yang menjadi ibu
mereka tidak dikubur hidup-hidup sewaktu kecil ?! Harus dicatat dengan
jujur bahwa bangsa Arab yang biadab itu memiliki sejumlah keistimewaan
yang diakui sejarah, yaitu mereka terkenal dengan sikap wibawa, setia
dan berani. Inilah salah satu rahasia kenapa Rasulullah SAW dilahirkan
di Mekkah, karena dari kota tersebut akan lahir generasi umat yang
berwibawa dan pemberani serta sangat setia kepada Rasulullah SAW dalam
memperjuangkan Islam seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali,
rodhiyallaahu ‘anhum. Tidak seperti bangsa Israil yang sering
membangkang kepada para Nabi dan Rasul, bahkan tidak jarang membunuhnya.
Jadi, justru kelebihan sifat bangsa Arab dalam wibawa, kesetiaan dan
keberaniannya lah yang lebih tepat menjadi alasan pengutusan Rasulullah
SAW di tengah bangsa Arab, bukan kebiadabannya.
Kelima,
dalam suatu riwayat Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa Allah SWT
memilih bangsa Kinanah dari anak keturunan Adam, dan memilih suku
Quraisy dari bangsa Kinanah, dan memilih Bani Hasyim dari suku Quraisy,
dan memilih beliau dari Bani Hasyim. Dengan demikian, Rasulullah adalah
“manusia pilihan” dari “bani pilihan” dari “suku pilihan” dari “bangsa
pilihan”. Hadits ini menunjukkan bahwa bangsa Arab yang biadab itu
merupakan yang terbaik di antara yang biadab ketika itu, bukan yang
paling biadab. Jadi, tesis orientalis yang dipropagandakan kaum Liberal
hingga kini tersebut terbantahkan dengan hadits ini.
Akhirnya,
jelas sudah bagi kita semua betapa rasis dan fasisnya kaum Liberal.
Karenanya, umat Islam harus merapatkan barisan dan menyatukan potensi
kekuatan untuk memerangi pemikiran dan paham Liberal yang sesat dan
menyesatkan. Dan sudah waktunya para pecinta NKRI untuk menghalau
Liberal dari negeri ini, karena mereka sedang memasang bom waktu rasis
dan fasis yang akan memecah belah dan mencabik-cabik persatuan dan
kesatuan Indonesia.
Tuduhan dan fitnah Liberal lainnya
terhadap Islam dan Arab akan kita jawab satu per satu melalui
tulisan-tulisan yang akan datang. Insya Allah.
Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar